Home » » Meredam ketakutan publik soal amnesti pajak Meredam ketakutan publik soal amnesti pajak

Meredam ketakutan publik soal amnesti pajak Meredam ketakutan publik soal amnesti pajak

Posted by CB Blogger


Rezim pajak berkeadilan, bukan amnesti
Masyarakat pekerja kelas menengah mulai bingung dan merasa terintimidasi dengan amnesti pajak. Mereka menerima surat imbauan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) agar dirinya memanfaatkan amnesti pajak.


Pekerja kelas menengah ini memposting, surat tersebut di jejaring sosial, ditambahi dengan ungkapan kebingungan, kecemasan dan ketakutan. Selama ini mereka merasa sudah menjadi wajib pajak (WP) yang baik. Mereka yang umumnya hanya berpenghasilan tunggal yaitu dari gaji sebagai pegawai. Pajak Penghasilan (PPh) langsung dipotong oleh kantor.

Dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak, mereka melampirkan bukti potong PPh yang dikeluarkan oleh kantornya. Dan selama bertahun-tahun tak pernah ada masalah. Tidak pernah ada teguran kurang bayar pajak, atau kekeliruan dalam pengisian formulir SPT. Karenanya mereka merasa sudah melaksanakan kewajibannya membayar pajak dengan benar.

Datangnya surat imbauan mengikuti program amnesti pajak tersebut, tak hanya mengejutkan tapi membuat bingung dan panik. Mereka merasa terintimidasi. Seolah dipojokkan sebagai bagian dari orang yang sengaja menyembunyikan hartanya, dan diminta meminta melakukan pengampunan pajak.

Mereka meminta saran di jejaring sosial apa yang harus dilakukan? Beberapa orang mencoba mengingatkan, jangan-jangan saat melaporkan SPT, lupa tidak memasukkan harta seperti rumah, mobil, deposito, tabungan atau pun hutang.

Secara terus terang, banyak yang menyatakan dalam membuat SPT, mereka memang tidak memasukkan aneka harta yang dimiliki. Argumennya, tanah, rumah, dan mobil setiap tahun sudah dibayar pajaknya tersendiri. Begitu pun deposito dan tabungan, penghasilan bunganya sudah otomatis sudah dipotong oleh bank?

Mereka mengira SPT hanya untuk laporan pajak penghasilan semata, tidak seperti Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang mesti menyertakan seluruh harta dan hutangnya. Ternyata setelah program amnesti berjalan, mereka baru sadar bahwa laporan SPT tak jau dari LHKPN. Artinya selama ini mereka alpa saat melaporkan SPT.

Lalu apakah alpa memasukkan harta--meski sesungguhnya dari harta tersebut pajaknya selalu dibayar--dalam SPT tahunan, sama artinya dengan menyembunyikan harta? Lalu mereka wajib mengikuti program pengampunan pajak?

Pertanyaan selanjutnya, apakah mengoreksi SPT dengan memasukkan harta yang alpa dilaporkan pada SPT sebelumnya, juga mesti ikut amnesti pajak dengan konsekuensi membayar membayar uang tebusan atas harta tersebut? Apakah mengoreksi SPT tidak cukup dengan menu pembetulan SPT seperti yang tertera dalam pajak online?

Semua kebingungan masyarakat pekerja kelas menengah ini, menunjukkan ada sesuatu yang belum tersentuh dalam pelaksanaan sosialisasi amnesti pajak. Meski wacana pengampunan pajak ini sudah merebak sejak 2015, namun praktiknya memang terkesan sangat minim sosialisasi.

RUU Pengampunan Pajak, dibahas di DPR dalam waktu yang sangat singkat. Disetujui dalam sidang paripurna sebagai UU pada 28 Juni 2016. Pada 1 Juli, Presiden menandatangani UU tersebut dan diundangkan (diberlakukan) pada hari itu juga sebagai UU No.11/2016 tentang Pengampunan Pajak.

Harus diakui, selama ini persepsi yang terbangun di masyarakat, amnesti pajak adalah menyasar WP kakap. Mereka ini yang punya kekayaan sangat besar, disimpan di luar negeri dan enggan membayar pajak.

Itulah sebabnya, tujuan nomor satu program pengampunan pajak ini adalah repatriasi. Yaitu, membawa kembali ke tanah air harta WNI yang disimpan di luar negeri. Target repatriasi ini cukup besar Rp1000 triliun dari prakiraan dana WNI yang disimpan di luar negeri sebesar Rp4000 triliun.

Tujuan kedua, memperluas basis pajak. Basis pajak baru akan didapat dari pengakuan atau deklarasi kepemilikan harta yang selama ini disembunyikan keberadaannya. Tujuan ketiga adalah menambah pendapatan negara, melalui uang tebusan atas deklarasi dan repatriasi aset yang targetnya bisa mencapai Rp165 triliun.

Dalam berbagai aksi sosialisasi yang dipublikasikan di media, yang diundang adalah para pebisnis kelas atas. Sangat jarang sosialisasi dilakukan untuk pengusaha kelas UKM misalnya, atau kaum pekerja kelas menengah.

Dengan model sosialisasi seperti itu, maksud program pengampunan pajak berlaku untuk semua warga negara Indonesia seperti tertuang dalam UU No.11/2016, jelas belum sampai di masyarakat. Dengan kata lain setiap wajib pajak bisa memanfaatkan program ini malah menjadi kabur.

Pekerja kelas menengah dan pengusaha UKM, selama ini sudah merasa memenuhi kewajibannya sebagai WP. Bahwa ternyata selama ini ada kekurangan dalam pelaporan SPT, sesungguhnya tidak ada pretensi untuk sengaja menyembunyikan kekayaan. Bagaimana bisa disebut menyembunyikan, wong sertifikat tanah BPKB mobil, tabungan, maupun deposito atas nama mereka.

Kekurangtertiban mereka memasukkan harta dalam SPT tahun lalu--juga tahun-tahun sebelumnya--bisa disebut kealpaan yang beraneka penyebabnya. Misalnya saja minimnya penyuluhan pajak terhadap mereka. Atau bahkan karena rumitnya pengurusan admnistrasi pajak.

Kita tentu sepakat dengan pemerintah bahwa keberhasilan program amnesti pajak akan terwujud jika program ini mampu memperluas basis pajak. Bisa menjaring WP baru sebanyak mungkin. Selain itu, program ini juga harus bisa membuat WP yang sebelumnya tak patuh menjadi patuh.

Karenanya perlu perlakuan berbeda, antara WP yang memang nakal, dengan sengaja menyembunyikan hartanya agar terhindar dari kewajiban pajak, dengan WP yang alpa melaporkan asetnya.

Ancaman tebusan atau pun denda, sepertinya tidak pas diarahkan terhadap WP yang selama ini sudah patuh, hanya alpa melaporkan asetnya. Mereka hanya butuh kemudahan dalam mengoreksi kealpaannya. Selanjutnya mereka secara proporsional akan setia berkontribusi terhadap pajak sebagai darah pembangunan.


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.